Posted by: djarotpurbadi | October 7, 2008

Kang Wiro Penjual Pecel Lele

Oleh: Djarot Purbadi, Sudaryono dan Achmad Djunaedi

Warung Pecel Lele yang berdiri di pojok timur suatu bangunan asrama adalah milik Kang Wiro, yang bertubuh sedang dan agak sedikit kurus. Ia berusia sekitar 45 tahun dan mengaku berasal dari Lamongan. Kang Wiro memiliki dua orang anak usia SMP dan SD dari seorang istri yang dari Lamongan juga. Dapat dikatakan, Kang Wiro ini adalah keluarga Lamongan yang merantau di Jogjakarta. Keluarga Kang Wiro tinggal selama 9 tahun ini dengan cara kontrak rumah pada seorang penduduk lokal (Pak Sarjono) seorang pensiunan tentara.

Keluarga Kang Wiro dan Pak Sarjono sudah bagaikan saudara sendiri, sebab hubungan kontrak yang cukup lama (9 tahun). Anak-anak Kang Wiro dekat dengan keluarga Sarjono, begitu pula sebaliknya. Bahkan Kang Wiro maupun Pak Sarjono seringkali saling bekerjasama menyelesaikan pekerjaan tertentu yang dapat dikerjakan secara bersama-sama.

Warung Pecel Lele Kang Wiro ini menjual aneka menu makanan, antara lain: nasi goreng, pecel lele, dan aneka minuman. Warung kang Wiro menempati pojok sebuah asrama belum ada 3 bulan, tepatnya mulai bulan puasa Oktober 2005, setelah “diusir” dari tempat lama di dekat jalan masuk ke perumahan Nogotirto. Padahal, ia telah menempati tempat lama selama sekitar 9 tahun tanpa putus. Pada saat menempati ruang trotoar disana, ia membayar sewa kepada aparat desa setempat dengan uang sejumlah sekian ratus ribu rupiah untuk satu tahun “kontrak”. Ia juga tahu bahwa tempat yang disewanya adalah trotoar yang berarti ruang untuk umum, namun ia mengandalkan perlindungan dari aparat setempat.

Tempat yang digunakannya saat ini dianggapnya kurang strategis sebab jauh dari keramaian dan jangkauan penduduk yang tinggal di perumahan-perumahan yang ada di Nogotirto. Ia tampaknya sudah mematok, bahwa pelanggannya adalah berasal dari penduduk di perumahan-perumahan. Baginya, tempat yang sekarang kurang membawa keuntungan karena di pinggir. Untuk menempati pojok asrama itu, ia mengaku “mendapat ijin” dari pimpinan asrama secara lisan, sebab sebenarnya depan asrama itu memang harus bersih dari apapun supaya dapat dihormati keberadaannya.

Tampaknya dia sangat kecewa dengan “diusir” dari tempat lama yang dinilainya lebih menguntungkan. Waktu itu ia menentukan lokasi melalui cara kolaborasi dengan penguasa formal lokal. Namun, karena kontraknya habis di tempat itu, dan lahan di belakangnya laku terjual serta pemilik baru menginginkan lahan di depannya bersih dari PKL, maka Kang Wiro terpaksa pindah. Kepindahannya di pojok asrama sebenarnya gratis, sebab tidak perlu mengeluarkan sewa namun hanya mengeluarkan sejumlah Rp. 50.000,– untuk “uang listrik dan air” dari kios sebelah.

Kang Wiro mengaku pernah berada di Jakarta dan menjadi penjual Pecel Lele disana dengan keuntungan yang lumayan. Namun, ia bosan di Jakarta karena terlalu banyak “gangguan” baik dari Trantib maupun para preman. Ia memilih Jogjakarta untuk mendapatkan ketenangan bekerja yang sangat penting bagi seorang wong cilik. Namun, ternyata di Jogja ia juga mendapat gangguan dari preman atau orang iseng yang datang meminta uang. Ia sudah berpengalaman berhadapan dengan orang-orang semacam itu, jadi selalu dapat mengatasinya dengan baik tanpa mengeluarkan uang sesenpun.

Menurut Kang Wiro, penjual pecel lele dimana-mana kebanyakan adalah orang-orang dari Lamongan. Ia menyebutkan bahwa beberapa Warung Pecel Lele di jalan Godean ini dia kenali sebagai orang tetangga desanya di Lamongan. Mereka biasanya datang ke kota-kota besar untuk mengembangkan bisnis pecel lele, kemudian dapat berkembang semakin banyak. Meskipun merantau, mereka tetap merasa ada ikatan batin dengan desa asalnya, melalui gerakan amal.

Jumlah warung Pecel Lele dapat berkembang karena ada alih ketrampilan atas dasar kerukunan sesama daerah asal (sedesa atau se Lamongan). Penjual Pecel Lele baru biasanya magang pada penjual Pecel Lele yang lebih senior. Setelah merasa memiliki kemampuan, maka mereka biasanya memisahkan diri dan mendirikan tenda atau warung sendiri. Meskipun mereka saling kenal dan merasa ada solidaritas sedesa, mereka berusaha secara mandiri membeli lele, tanpa memakai jalur paguyuban formal yang ada. Paguyuban penjual Pecel Lele di jalan Godean memang belum ada, meski pernah ada penjelasan akan diadakannya paguyuban PKL di jalan Godean.

Ia pernah mengikuti pertemuan paguyuban PKL Pecel Lele di Jakarta, tetapi hasilnya tidak ada kemajuan yang berarti bagi usahanya. Di dalam paguyuban itu ada upaya menjalin hubungan erat antar PKL Pecel Lele dengan basis rasa sedesa atau se-lamongan. Hal-hal positif yang pernah dialami antara lain: mengumpulkan uang untuk menolong saudara di desa yang mengalami musibah, kematian, dll. Iuran yang diberikan besarnya tidak ditentukan, hanya berdasarkan asas sukarela dengan kotak amal.

Sebelum menjadi penjual Pecel Lele di jalan Godean, ia pernah merantau di Bengkulu dan Kalimantan. Ia bekerja di kebun kelapa sawit di Bengkulu dan karena bosan kemudian merantau ke Kalimantan sebagai kuli angkut kayu sisa “illegal logging” untuk disetorkan kepada pimpinan perusahaan yang diikutinya. Ia memiliki pengalaman mengangkat kayu-kayu yang terjatuh di jurang atau tempat sulit dan tidak diambil oleh penebang sebelumnya karena kesulitan medan.

Ia memilih Jogjakarta sebagai tempat merantau karena ingin bekerja dengan penuh ketenangan yang tidak diperolehnya ketika di Jakarta. Yogyakarta meskipun lebih tenang namun agak sulit mendapatkan uang, sementara di Jakarta mudah mendapatkan uang tetapi hati tidak tenteram. Sebagai wirausahawan ia ingin dapat bekerja dengan baik, dan bersikap baik terhadap semua orang, dan intinya tidak mencari musuh.

Tentang penataan PKL, di Sleman dirasakan belum akan berlaku seketat di kota Yogyakarta. Meskipun demikian, bila hal itu akan diberlakukan maka ia akan mengikuti penataan itu karena sebagai perantau ia cenderung menyesuaikan diri dengan keadaan demi sebuah ketenangan bekerja. Hal ini dapat dipahami, sebab seluruh hidup keluarganya kini sangat tergantung pada pekerjaannya sebagai penjual Pecel Lele.

(Sumber: catatan wawancara lapangan, Desember 2005)

————-

Ir. Y. Djarot Purbadi, MT, kandidat doktor Arsitektur pada Program Pasca-sarjana Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Ir. Sudaryono, M.Eng.PhD, asisten profesor pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D, profesor pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada


Responses

  1. Sekedar informasi, kami dari PONDOK SELERA, Pondok Ranggon, Jakarta Timur menyediakan pecel lele mentah siap saji (tinggal dimasak)

    Lelenya dijamin tidak bau lumpur karena telah melalui proses pencucian yang baik, dan dijamin nikmat karena telah diungkep dengan bumbu. Sangat cocok untuk yang ingin berbisnis pecel lele tapi tidak tahu cara pembuatannya.

    Selain lele, kami juga menyediakan pecel ayam, tempe, tahu juga lainnya, jadi bagi yang tidak bisa memasak masih bisa berbisnis pecel lele/pecel ayam dengan modal tersebut diatas (yang penting bisa menggoreng, sudah bisa memulai usaha pecel lele yang nikmat).

    Bagi yang berminat, bisa hubungi kami di (o21) 443 53 443.


Leave a comment

Categories