Posted by: djarotpurbadi | October 6, 2008

Kang Parman Penjual Mie Jawa

Oleh: Djarot Purbadi, Sudaryono dan Achmad Djunaedi

Kang Parman adalah penjual “Mie Jawa” mengaku berasal dari desa Piyaman, Wonosari. Ia berusia 45 tahun dan memiliki dua orang anak, perempuan usia 18 tahun (SMA kelas 3) dan laki-laki usia 15 tahun (SMP kelas 3) dari istrinya yang bernama Yu Tuminah (40 tahun). Suami – istri yang menikah tahun 1986 ini mengaku sama-sama berasal dari Wonosari.

Keberadaannya di jalan Godean di mulai sekitar tahun 1997, yakni mangkal di depan bangunan yang sekarang adalah sebuah Apotik KIFA. Sebelumnya, ia membuka usaha Mie Jawa bersama dengan kakaknya dan ruang usahanya itu ada di sebelah barat Mirota Kampus jalan C. Simanjuntak. Warung tenda di Mirota itu ada di trotoar sisi barat, menempel di luar pagar bangunan Madrasah.

Ia pindah ke jalan Godean awalnya karena orang tua istrinya memiliki tanah di Modinan yang dibelinya. Ia dan keluarganya diminta menemani ibu istrinya yang sudah berusia tua dan tinggal sendirian disana. Permintaan itu dipenuhinya karena dapat bermanfaat bagi keluarganya dan pengembangan usahanya sebagai penjual Mie Jawa. Bahkan secara formal, Kang Parman dan istrinya sudah menjadi penduduk desa Modinan, bukan penduduk pendatang lagi yang harus memiliki KIPEM (kartu penduduk musiman) karena sudah memiliki KTP Modinan.

Sejak tahun 1988 ia memindahkan warung tenda Mie Jawa miliknya itu dari depan Apotik KIFA ke tempat yang sekarang digunakannya, yakni di depan SD Nogosari. Prosesnya, sangatlah sederhana. Pada suatu saat ia di datangi oleh seseorang yang belum dikenalnya dan memintanya untuk membuka usaha warung bakminya itu berada di depan SD Nogosari. Katanya: “Pindahlah di sana, nanti kalau tidak boleh disana, beritahukan kepada saya”. Syarat yang diajukan adalah agar Kang Parman dapat tertib dan bersih, kalau pagi hari tempat itu tidak digunakan untuk menyimpan peralatan warungnya. Kang Parman setuju dan pindah di tempat yang dimaksudkan. Ternyata, orang yang mendatanginya itu adalah kepala sekolah SD tersebut, yang mengaku juga berasal dari Wonosari.

Dengan kepindahannya di depan SD Nogosari itu, Kang Parman menjalin hubungan kerjasama lebih lanjut, yakni mendapat fasilitas listrik dan air yang diperoleh dari pihak SD Nogosari dan ia dibebani dana sebesar Rp. 5.000,- per bulan untuk membayar fasilitas itu. Dengan meninggalnya kepala sekolah yang berasal dari Wonosari itu, kini beban beaya fasilitas berubah menjadi Rp. 30.000,– sejak Januari tahun 2004 yang lalu. Menurut Kang Parman, naiknya “tarikan” dari SD Nogosari ini karena Kepala sekolah yang baru bukan berasal dari Wonosari, dan alasan besaran tarip ditetapkan oleh BP3 SD Nogosari.

Meskipun demikian, Kang Parman merasa tidak terlalu berat, karena kalau dihitung sehari hanya sekitar Rp. 1.000,– Selain itu, dia merasa bahwa keberadaannya di depan SD itu sangat direstui oleh pihak SD, baik Kepala Sekola maupun BP3, dengan membayar beban sebesar Rp. 30.000,– per bulan itu. Semula pihak BP3 menetapkan harga Rp. 50.000,- per bulan, tetapi Kang Parman mengajukan keberatan dan disetujui menjadi tarip yang sekarang. Ia juga mengaku, mendapat fasilitas untuk menyimpan gerobak dan tendanya di halaman belakang SD yang tempatnya luas serta ditata bagus. Ia bahkan mendapat kunci halaman SD, yang dapat digunakannya untuk memperlancar pendirian dan penyimpanan peralatan warungnya di SD itu.

Selain membayar “uang listrik dan air” kepada pihak SD, Kang Parman juga kadang-kadang (sebulan sekali, tidak tentu) memberikan minuman ataupun makanan (sesuai menu yang ada di warungnya) kepada dua atau tiga orang guru SD yang mengadakan kegiatan lembur di malam hari. Tambahan ini dilihatnya sebagai bagian dari kegiatan menjalin hubungan baik antara dirinya dengan kalangan para guru SD tersebut. Minuman dan makanan itu biasanya gratis (tidak mendapat bayaran).

Keberadaan Kang Parman di depan SD ternyata dirasakan positif oleh pihak sekolah, khususnya pada aspek keamanan. Sebelum warung Mie Jawa milik Kang Parman ada di depan SD, beberapa kali terjadi pencurian barang di SD tersebut. Setelah Kang Parman di depan SD itu sejak tahun 1998, ternyata kejadian semacam itu hampir dikatakan tidak ada lagi. Bahkan Kang Parman dan istrinya kadang ikut mengamankan barang-barang milik SD yang tertinggal di luar ruangan karena kelalaian penyimpanan, misalnya: seperangkat peralatan soundsystem yang pernah tertinggal di luar ruang kelas.

Kerjasama Kang Parman dengan penjaga sekolah juga terjalin dengan baik. Penjaga sekolah dapat datang lebih malam (menjelang pukul 24.00) karena seolah-olah SD sudah ditunggui sejak pukul 16.00 sore. Kang Parman biasa mempersiapkan pembukaan warungnya sejak pukul 16.00, yang menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk sampai dapat melayani pembeli pertama. Selain itu, kadang kala penjaga SD datang lebih awal dan ngobrol atau makan di warungnya lebih dahulu sebelum menjalankan tugasnya menjaga SD mulai pukul 24.00 hingga dini hari pukul 05.00.

Kang Parman tumbuh menjadi penjual Mie Jawa karena memiliki perjalanan yang panjang. Ia lahir dari keluarga penjual Mie Jawa khas Wonosari. Ayahnya, Pak Jomarto, adalah penjual Mie Jawa generasi awal kota Yogyakarta yang membuka warung Bakmi di kawasan Sosrowijayan. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Sejak kecil Kang Parman sudah hidup di dalam kultur pedagang Mie Jawa, sehingga ia dan kakak serta adik-adiknya kebanyakan juga menjual Mie Jawa. Sebelum menjual Mie Jawa di Mirota Kampus, Kang Parjo adalah penjual “nasi Padang” dengan cara kursus privat pada seorang yang mampu memasak masakan Padang. Akhirnya, ternyata kecenderungan keluarga-lah yang menjadi pilihannya.

Kakaknya hingga sekarang masih aktif menjual Mie Jawa di warung lama yang ada di barat Mirota Kampus, dan sudah memiliki tanah dan rumah di kawasan Terban. Adiknya yang bernama Maryatiati juga membuka warung Mie di Pojok Lapangan Olah Raga Nogosari serta di tepi jalan Godean sisi selatan, warung tendanya bernama Yu Maryati dan berada di dekat jalan masuk ke perumahan Griya Arga Permai. Adiknya yang bersuami “orang Wonosari” sudah beberapa tahun tinggal di desa Nogosari karena memiliki tanah disana, dan mereka sudah menjadi penduduk Nogosari sambil meneruskan usaha wiraswasta warung klontong dan warung Mie Jawa.

Keberadaan warungnya di depan SD Nogosari secara otomatis selalu terkait dengan keramaian situs Mbah Demang yang diperingati setiap bulan Muharram (Sura). Pada saat keramaian sebulan suntuk di sekitar situs itu, ada dua pihak yang berkepentingan mengelola keramaian, yakni desa Guyangan dan desa Modinan. Kedua desa ini selalu menjadi pihak pengelola keramaian sekitar situs mbah Demang, yang semula melebar ke arah barat sekarang justru melebar ke arah timur (mendekati pasar Telagareja). Pada waktu keramaian itu, Kang Parman juga dibebani dana kebersamaan yang harus dibayarkan ke desa Guyangan dan desa Modinan. Ia merasa hal itu wajar dan besarannya juga tidak memberatkan. Dengan demikian, Kang Parman merasakan adanya pengakuan yang mantap dari lingkungan kedua desa itu terhadap keberadaan warungnya di depan SD Nogosari. Ia mengaku bahwa merasa mantap dan tidak menjadi “pedagang liar” di jalan Godean dengan adanya beban-beban dana tambahan yang harus dibayarnya.

Bagi Kang Parman dan istrinya (keduanya berpendidikan rendah, lulusan SD), menjadi PKL seperti saat ini merupakan sebuah keterpaksaan. Mereka menyekolahkan anak-anaknya dan berpikir hendaklah anak-anaknya tidak menjadi PKL seperti dirinya melainkan dapat menjadi orang yang bekerja lebih baik kondisinya. Biarlah menjadi PKL seperti ini hanya dirinya saja, anak-anaknya jangan mengikuti jejaknya, demikian katanya. Hal ini terbukti, anak-anaknya diberi kebebasan menjalankan sekolah dan tidak dibebani tugas-tugas di warungnya karena Kang Parman dan istrinya saja yang menyediakan diri untuk “hidup di tepi jalan” sepanjang waktu.

Menurut Kang Parman, hidup di tepi jalan harus “dawa ususe, sabar lan narimo”. Kehidupan di pinggir jalan memang keras dan penuh dengan bahaya. Bahaya datang dari kendaraan yang lalu-lalang di dekatnya, tetapi juga dari gangguan orang-orang waras (preman) maupun dari orang-orang gila. Kang Parman pernah didatangi seorang gila yang meminta uang Rp. 5.000,– tetapi dapat di tolaknya. Hal semacam ini tidak hanya terjadi sekali, melainkan beberapa kali dan selalu dapat diselesaikan dengan baik.

Anaknya yang pertama, perempuan sudah sekolah di SMA kelas III dan sudah setahun ini menjadi penyiar di Radio UII Malioboro. Anaknya ini hanya sekali-kali saja membantu pekerjaan di warungnya, khususnya kalau salah satu dari orang tuanya berhalangan (misalnya karena sakit atau pulang ke desa). Anaknya yang lain, seorang lelaki sedang menempuh pendidikan di SMP kelas III, juga tidak pernah membantu di warungnya. Tampaknya suami – istri Parman sungguh-sungguh ingin keluar dari “penderitaan sebagai PKL” dan tidak ingin anak-anaknya menderita seperti dirinya. Dalam hal ini, pendidikan sekolah dilihatnya sebagai jalan satu-satunya yang dapat mendukung cita-citanya itu. Ia bahkan tidak terlalu tertarik untuk mendidik anaknya menekuni bisnis Mie Jawa, misalnya dengan pola lain: menjadi juragan Mie Jawa.

Kang Parman juga berceritera bahwa akhir-akhir ini ada usaha untuk menghimpun para penjual Mie Jawa asal Wonosari di Yogyakarta ke dalam wadah IKG (Ikatan Keluarga Gunung Kidul) yang konon telah eksis di Jakarta. Menurut pengakuannya, kalau ikut di dalam “koperasi IKG” itu akan mendapat berbagai fasilitas, antara lain adalah pinjaman modal dengan bunga ringan. Ia memang ingin dapat mengikuti koperasi itu karena tertarik pada pinjaman modal, selain dapat berhimpun dengan para wiraswastawan lain yang berasal dari Gunung Kidul. Tampaknya fanatisme atau emosi kedaerahan menjadi salah satu motivasi untuk bergabung di dalamnya.

Menurut Kang Parman, secara umum koperasi IKG yang kantornya di sebelah utara UNY, setuju dengan peraturan yang diberlakukan di kota Yogyakarta tentang penataan PKL. Ia sebagai PKL cenderung setuju dengan peraturan itu, terutama karena ada anjuran IKG agar setiap PKL dari Gunung Kidul menaati peraturan itu karena merupakan bentuk pengakuan formal pemerintah sekaligus ada harapan mendapat bantuan modal dll. Kang Parman setuju karena sejalan dengan keinginannya untuk mendapatkan ketentraman dalam menjalankan bisnisnya di tepi jalan itu. Dengan mengikuti peraturan itu, ia merasa akan menjadi PKL yang legal (merasa tenteram) dan ada harapan mendapat pertolongan apabila mendapat kesulitan dana atau fasilitas lainnya.

Ia sedikit bersyukur karena merasa pemerintah kabupaten Sleman belum melakukan penataan PKL seperti di Yogyakarta yang terkesan meresahkan. Kang Parman cukup paham dengan beberapa bagian dari aturan penataan PKL di kota Yogyakarta karena mendapat informasi lewat “gethok tular” diantara sesama PKL. Bahkan sekitar setahun yang lalu pernah ada penjelasan dari pihak Kecamatan Gamping tentang akan diadakannya paguyuban PKL berdasarkan jalan (misalnya: Paguyuban PKL jalan Godean), namun belum sejauh yang dilakukan pemerintah kota Yogyakarta. Sayangnya, usaha menghimpun para PKL itu hingga saat ini belum terjadi, entah karena apa kok macet.

Sebagai orang yang sudah puluhan tahun bekerja di tepi jalan, Kang Parman sangat menyadari kedudukannya sebagai orang yang “nunut” ruang kerja, sehingga tahu diri untuk tidaka meminta uang pesangon bila diusir dari tempat mangkalnya. Hal ini dikatakannya, untuk membandingkan orang dari etnis lain yang minta pesangon dari pihak pemilik lahan di dekatnya karena diusir sebab dianggap kurang memperhatikan kebersihan tempat kerjanya sehingga merepotkan. Ia ingin membandingkan, bahwa sebagai etnis Jawa merasa lebih memiliki nilai etika dibandingkan yang lain.

Tetapi dia kemudian agak ragu dengan pandangannya itu karena tetangga baru di sebelah barat tempatnya adalah pendatang baru dari Wonosari yang berjualan Seafood ternyata “nekad” tanpa ijin dari pemilik lahan langsung mendirikan warung tendanya. Ada kekuatiran, jika ada hal-hal yang buruk dilakukan orang lain akan berdampak pada dirinya yang sudah relatif mapan ditempatnya. Tetangga baru itu potensial memunculkan masalah, sebab sudah ada pihak BP3 yang mempertanyakan kasus nekad itu, dan Kang Parman kuatir apabila kemudian muncul aturan dari BP3 yang melarang PKL menggunakan ruang di depan SD. Tetapi, Kang Parman memang merasa tidak dapat berbuat apa-apa karena merasa enggan berurusan dengan orang nekad.

Tentang bisnis Mie Jawa, ia mengatakan bahwa kuncinya pada pemasaknya atau cara memasaknya. Artinya, sama-sama penjual Mie Jawa (bahkan berasal dari keluarga penjual Mie Jawa yang sama) akan tersaji rasa masakan yang berbeda. Mungkin semua bahannya sama, tetapi biasanya akan muncul rasa Mie Jawa yang khas pada setiap warung Mie Jawa. Jadi, kuncinya bukan pada bahannya melainkan ketrampilan kokinya, dan hal ini membuat adanya segmen langganan tertentu. Bagi Kang Parman, soal rasa khas setiap warung Mie Jawa ini sangat disyukuri dan menjadi hal yang dibanggakan. Karena hal itulah Mie Jawa tidak dapat atau sulit ditiru orang lain.

Bagi Kang Parman, di lingkungan PKL ada dua jenis bisnis berdasarkan cirikhas dagangannya. Ciri ini menjadi faktor penentu perkembangan bisnisnya, khususnya terkait dengan “duplikasi” warung atau gerobak PKL agar menjadi bisnis yang besar. Baginya, bisnis Mie Jawa atau Bakso merupakan bisnis yang hanya dapat dikelola secara terbatas. Ia tidak dapat mempercayakan hitung-hitungan penghasilan warung karena Mie atau Bakso sulit dikontrol berapa jumlah yang laku. Hal ini berbeda dengan bisnis Ayam Goreng Yanto yang dapat berkembang menjadi 4 gerobak ayam hingga saat ini, karena hubungan bisnis antara juragan dengan anak buah dapat mudah dikontrol dari jumlah ayam yang dijualnya (entah dengan satuan Kilogram atau potong ayam). Untuk bisnis Mie atau Bakso cara menghitungnya tidak semudah bisnis ayam goreng itu.

Dengan kata lain, di dalam bisnis PKL ada bisnis yang dagangannya “countable” dan yang “uncountable”. Hal ini nampaknya menjadi salah satu faktor penentu perkembangan bisnis PKL. Bagi Kang Parman, kalau bisnis Mie Jawa mau meniru bisnis Ayam Yanto tentu tidak bisa, sebab akan banyak masalah dalam proses hitung-hitungan dagang antara juragan dengan anak buahnya. Jadi, cara yang paling tepat adalah satu koki membuka satu warung Mie Jawa, juga karena kekhasan rasanya muncul dari kokinya.

Kang Parman juga berceritera bahwa PKL di jalan Godean ini sebagian adalah para pendatang, kira – kira ada sekitar 50%. Penduduk lokal biasanya kurang berhasil dalam menjalankan bisnis PKL karena umumnya kurang tekun. Barangkali benar kata orang, bahwa pendatang lebih gigih berjuang daripada penduduk lokal karena statusnya sebagai pendatang yang menjadi sumber semangatnya. Sebenarnya orang Jawa sama gigihnya dengan orang dari etnis lain, asalkan sama-sama ada dalam situasi yang sama, sebagai perantau. Demikian juga, orang Jawa atau etnis lain kalau di daerah sendiri kemungkinan besar juga tidak segigih dibandingkan mereka yang di rantau.

Selain itu, menurut Kang Parman, angkringan itu ada dua jenis, yakni dikelola oleh “orang Klaten” dan “orang Wonosari”, dan yang ada di jalan Godean adalah dalam keadaan campur (dalam artian tidak mengelompok seperti di Malioboro sebelum digusur).

(Sumber: catatan wawancara lapangan, Desember 2005)

————-

Ir. Y. Djarot Purbadi, MT, kandidat doktor Arsitektur pada Program Pasca-sarjana Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Ir. Sudaryono, M.Eng.PhD, asisten profesor pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D, profesor pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada


Leave a comment

Categories